Setelah perjalanan liburan ke Jogja bersama kawan-kawan hetero gue dan mengambil kesempatan langka tersebut untuk sekalian ketemu pacar, seperti biasa gue pasti akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk merenungkan kembali hubungan gue dengan pacar dan berpikir untuk dibawa kemana untuk hubungan ini ke depannya. Walopun belum sempat ngomongin hal ini berdua dengan pacar secara serius di antara waktu kemarin liburan (ya iyalah pasti dimanfaatkan untuk yang lain lah yah.hehe), mau gamau gue kepikiran gimana ke depannya nasib gue dan si pacar sekarang-sekarang ini. Apakah lanjut dengan coming out ke keluarga? Apakah bekstrit sebekstrit-bekstritya sampe cuma Tuhan, kami berdua, anak IHA, anak genk Gokil, tetangga-tetangga IHA, sohib kampus, senior kampus, psikolognya pacar,temen kampus, temen SMAnya pacar, dan mantan pacar aja yang tau (banyak yah..hehe)? atau tetap lanjut dengan bekstrit kayagini tapi hubungan dengan dua belah duren-eh maksudnya keluarga tetap adem ayem gemah ripah lok jinawi?
Haiiiiisssshhhh… kalo lagi otaknya rasional bisa nih ngomongin hal itu panjang lebar tanpa berurai air mata, paling-paling ngeces air iler karena ngantuk..hehe.. tapi jangan harap kalo lagi mellow-ow-ow bisa ngebahas hal itu sampai tuntas. Jangankan tuntas, baru sampe bahasan bab I alias pendahuluan di bagian rumusan masalah (which is gue LDR) aja uda bisa berlinangan air mata, seliter ingus dan ngabisin tiga belas kotak tisu. Hohohohoho… tapi yah masalah ini mau gamau, rela ga rela, capek ga capek, nyadar ga nyadar, niat ga niat, yakin ga yakin, laper ga laper (ini apa sih?) harus diomongin.
Setiap hubungan pasti harus ada ujungnya. Kaya waktu dulu kita belajar nyimpul tali tambang waktu ekskul pramuka, simpul tali yang kita buat pasti ada ujungnya dan kuat tidaknya ikatannya tergantung dari simpul yang kita bikin. Mau yang gampang banget dilepas atau yang kuat banget sampe niscaya tidak ada seorang pun di dunia persilatan ini yang mampu melepaskannya. nah..untuk hubungan yang normal pada umumnya pasti kan berlanjut ke jenjang pernikahan kan tuh.. iya. NIKAH. hahahaha.. ribet deh buat kita2 yang punya pacar cewe. belum lagi sebagai wanita mau ga mau lebih banyak terbeban secara social dengan semua kungkungan nilai dan aturan yang ada di masayrakat yang mengharuskan kita menikah (sebaiknya)sebelum usia 30. lain dengan cowo. Lepas usia segitu mereka dibilang matang, lha kalo cewe belum nikah di usia segitu pasti dianggep ga laku. Hih! Apanya yang emansisapi kalo masih ada pandangan diskriminatif kaya gitu! Babi! Belum lagi tuntutan dari keluarga yang katanya demi nama baik lah, yang untuk ini lah..untuk itu lah..bah! kucing!
Kalau hubungan antara sepasang manusia yang beda anuannya (hayo beda apanyaa?) ya gapapa. Kalau pun beda agama atau keyakinan, semuanya lebih bisa dianggap mudah diatur dan lebih bisa dimaklumi. Naaahhhh… kalo ni dua orang sama-sama awewe alias onna no ko alias peyempuan kumahaaaaa? Ehehehehehe..
Mungkin di tetangga pernah dibahas beberapa kasus dan berusaha memberikan solusinya. Kalau untuk tahap pacaran sih masih oke yah jalanin hubungan jalan belakang (bukan ngomongin pantat loh! Bukan!). Gimana untuk yang uda mentog dan ga kepikiran orang lain lagi selain pacaaaar padahal batang umur uda makin menjorok ke arah barat dan makin lama makin merunduk (rematik ato osteoporosis, bok? hehe..)? karena biasanya niiih kalao uda dalam tahap itu serangan dan rongrongan keluarga yang menuntut kejelasan keberadaan pacar ato bahkan calon suami sudah masuk ke tahap mengkhawatirkan, ga bisa dibendung alias kritis. Mana nyaman ketemu keluarga kalo tatapannya ga jauh-jauh dari “mana cowonya? Kapan nikah?” dari yang bersahabat sampe yang sinis menjurus menyindir kaya “Ihh ga laku-laku”, “ihh keteknya bau” (lho?)
Untuk mengatasi hal itu gue sempet kepikiran beberapa hal :
Pertama, tinggal jauh banget dari keluarga. Sebisa mungkin ke tempat yang aga sulit untuk orang rumah nyusul. Jepang, kanada, rusia, kutub, ato alam gaib. Hheehehe.. tapi pacar tidak mau tinggal di luar negeri karena dia sangat cinta Indonesia, jadi rencana pertama gagal dengan sukses.
Ke dua, bikin kecelakaan buatan yang membuat keluarga taunya gue uda mati. Trus tinggal aga jauhan dengan ID baru. Tapi konsekuensinya adalah ga punya keluarga lagi. Mau sekangen apapun ma orang rumah tetep ga boleh pulang. Kan uda mati jadi diriku bukan diriku lagi (kaya judul sinetron yak).. gue sih nyantai aja kalo harus kayagitu, tapi pacar gamau. Jadi rencana kedua gagal secara aklamasi.
Ke tiga, sama-sama menikah dengan sepasang homo juga. Dan punya rumah sebelahan dengan pintu rahasia jadi kapan pun bisa tuker pasangan. Rencana ini sempet oke juga di pikiran, tapi aga sulit karena gue punya nyokap ahli nujum dan keluarga gue sangat peka dengan cowo homo (gatau kenapa). Apalagi tingkat religius keluarga kami berdua yang mungkin aga sulit ditembus dua cowo homo calon suami kami (yang ada mereka tobat duluan tar). Jadi rencana ke tiga masih ditangguhkan.
Ke empat. Tidak menikah (secara kasat mata bagi keluarga) dan tetap bekstrit as seen as well (hihi.. inggris gue kacau ya). Sibukkan diri dengan hal-hal berguna bagi nusa dan bangsa dan berusaha kokoh menolak segala jenis perjodohan dan segala bentuk pemakzulan yang ada. Tetep eksis di keluarga tapi dengan kuping setebel lemari (ya iyalah pasti banyak gunjingan ga sedap sampe rengekan nyokap yang minta kita nikah dan pengen mainan berupa cucu yang bau), rona muka yang bisa disetting normal (karena biarpun pengen marah digunjingi mukanya bisa tetep datar dan keren), sikap yang teguh (tak tergoyahkan dari apapun kecuali pacar yang selingkuh). Rencana ke empat so far terancam dari keluarga gue yang mengharuskan gue nikah sebelum umur 25. hahaha..
Ke lima. Menikah dengan cowo hetero yang cinta mampus ma kita walopun kita (ngakunya) sakit kanker rahim yang kalo disetubuhi akan bikin jantung kita mogok kerja seketika. Tapi di saat yang sama dia gatau kalo kita ada affair ma pacar. Rencana ke lima secara rasional ga bakalan berhasil karena pasti si cowo itu akan bawa ke dokter meriksain diri kita dan cari tau gimana cara nyembuhinnya. Ya iyalah masa ga mau sih ML ma istrinya? Kecuali dia homo atau ga punya titit *umpetin golok*.
Ke enam. Menikah dengan hetero bule yang harus dinas ke negeri asalnya lamaaaa banget sambil dijampe-jampe dari sini biar dia lupa punya istri kita, atau mati sekalian di sana jadi gausa balik dan kita bebas bersama pacar tapi kewajiban menikah sudah ada di tangan. Rencana ke enam aga sulit karena sampe sekarang ga punya temen bule. Lagian kalo punya pasti disekap ma nyokap gue dan disuruh nelorin gue dulu baru dia bole pulang. Hiiiii....
Ke tujuh. Nikah ma sapa aja (berlaku untuk gue ato pacar) dan usahakan beberapa cara biar itu laki ga mendaratkan seujung kuku pun ke tubuh kita. Caranya banyak kok : dari perjanjian formal seperti materai dengan taruhan harta atau nyawa seluruh keluarga dan tujuh turunannya, hipnotis yang menyerang alam bawah sadarnya sampe dia selalu ketiduran saat mau megang kita, sampe bunuh dia dengan racun sianida terbaru yang ga bisa terdeteksi dengan apa pun (paling-paling cuma akan terdiagnosa serangan jantung). Cara ini belum bisa dibilang oke karena gue belum punya harta segudang yang bisa digono-giniin dan belum nemu racunnya.
Ke delapan. Terima nasib diselingkuhi atau menyelingkuhi. Menikah dengan semua keberadaan suami (hetero) yang terserah tau apa ga dengan orientasi sex kita dan berusaha menjalani sisa hidup sebagai istri yang baik buat dia dan keluarga tapi tetep menyelingkuhinya dengan tetap berhubungan dengan pacar. Hmm.. kalo gue sih ogah. Gue ga bakalan mau nyentuh pacar kalo dia sudah disentuh orang lain tanpa gue bunuh dulu orang itu. Hehe.. gue serius.
Ke sembilan. Putusin pacar dan dengan niat baja kembali di jalan lurus seperti yang orang-orang dan keluarga inginkan. Menikah. Berkeluarga, beranak-pinak dan memenuhi bumi. Keluarga sih senang yah pastinya, kita? Untuk rencana yang terakhir, ngebayanginnya pun gue ogah. Hummm....
Ke sembilan rencana tadi bisa sih dilakuin asal dengan usaha dan niat yang lebih plus segudang kenekatan. Lalu bagaimana dengan yang instan? Gue baca di salah satu page-nya mereka, sepasang cewe yang pacaran (saat tu masih seusia toge) nekat kabur dari rumah karena ketauan dan diancam dipisahin dengan salah satunya disekolahin ke luar angkasa. Akhirnya dengan segala keterbatasan, kemelaratan yang mereka punya, mereka berjuang untuk tetap bersama dan tetap berusaha meyakinkan keluarga mereka dengan keyakinan dan keteguhan yang mereka miliki. Satu kisah diakhiri dengan ending yang bahagia : mereka langgeng dengan hidup berkecukupan plus dua belah keluarga akhirnya luluh dan menerima hubungan mereka. What a story, huh?
Tapi apa iya kabur bisa menyelesaikan masalah? Selain rasa ga nyaman dan ga aman karena merasa dikerjar-kejar mata-mata dan intel keluarga, oknum yang bersangkutan pastilah juga diselimuti perasaan bersalah karena nyakitin perasaan nyokap dan keluarga yang (katanya) sayang banget. selain itu (yang pasti nih yah) kabur ga bakalan bisa dilakuin dengan mudah. Gue membayangkan kalo gue kabur ma pacar jangan berharap bisa berakhir seperti itu. yang ada pasti gue dicari pake sekompi polisi dan pacar dipenjara karena dituduh menculik gue. Itu masih bagus karena belum pake acara hajar-menghajar dari kakak-kakak gue yang pernah bilang ga bakalan nganggep cewe gue cewe karena uda berani-beraninya bawa kabur ade mereka dan berani jadi pejantan buat (jagain) gue. Dan itu pun belum pake acara berdzikir, ratapan dan doa puasa berhari-hari kalau perlu berabad-abad dari keluarga gue dan keluarganya dia yang hasilnya pasti ujan awal ujan akhir lengkap dengan konseling dan ritual pertobatan dari sumpah pengakuan, pelepasan pengusiran setan sampe baptisan selam.
Haaaaaahhhhhh... rasanya pengen ngejeduk-jedukin kepala trus serahin otak gue ke mereka yang maksa gue untuk jalanin hidup dengan ”normal”.
Gue gatau mana yang paling mungkin dari semua kemungkinan yang ada. Since gue ga percaya takdir jadi gue akan tetap berusaha merumuskan rencana yang terbaik yang bisa gue lakuin dengan pacar dengan sebisa mungkin meminimalisir sakit hati di pihak keluarga (gue ga bisa dan gamau maksa dia harus milih antara gue ato keluarga. penge sih, tapi ga ah.).
Seorang sohib hetero gue kemarin bilang gini ke gue, ”jalanin aja dua-duanya. ya keluarga, ya pacaran lu. lagipula untuk nikah? lu? Dream on!”
Ahahahaha..