Friday, September 25, 2009

That L Word




Lesbian.


Shifra dan Adriel akan memalingkan muka begitu mendengar kata itu bergulir. Mereka berdua selalu bergidik tiap mendengar kata itu. Sepotong dari kata itu saja sudah mendadak membuat perut mereka mulas, kepala pening, hidung tersumbat dan sesak napas. Cukup dua detik untuk membuat kata itu utuh meluncur sempurna. Tapi tidak untuk mereka berdua. Mengucapkan kata itu sama saja seperti menelan utuh sebuah durian monthong yang belum matang. Keras dan tajam. Siap merobek tenggorokan dan membuat batang leher terbelah dari atas sampai dasarnya seperti balok batang kayu yang dibelah tukang kayu. Seperti menelan sembilu dan seribu pedang dalam sekali telan hingga hancurlah tubuh itu. Paling tidak tersayat-sayat dengan muncratan darah di tiap tepiannya.


Shifra dan Adriel. Dua perempuan yang saling cinta itu menolak keberadaan kata itu dalam kamus mereka. Tidak berarti makna itu mereka hapus dan lantas tak jadi ada. Hanya diputuskan untuk tidak berada dalam kamus mereka. Tidak dalam runutan kata-kata dalam kamus benak mereka yang tersusun demikian rapi. Kata itu mestinya terselip di antara kata lerak dan lesikal. Atau berada di petunjuk tambahan untuk kata homo atau gay.

Tidak. Mereka berdua memilih menggunakan kata-kata lain sebagai substitusi kata tersebut. Kata itu tampaknya teramat keramat untuk diucapkan. Terlalu tabu untuk dibiarkan berenang bebas di udara. Terlalu haram untuk dilantunkan. Terlalu keterlaluan untuk diangkat ke permukaan. Hanya tampaknya. Dan pembicaraan mengenainya tentu tak jauh seperti itu. Mulut mereka terkunci rapat. Lidah mereka kaku. Tak ada mungkin mereka mengucapkannya.


Bagi Shifra kata itu terkutuk. Baginya tak akan ada ampun bagi kata itu. Dulu sekali kata itu pernah hidup dan menjajah hidupnya. Sekali. Tapi tidak lagi.


Dulu sekali serentetan kisah mengganduli kata itu dan memenjarakannya untuk sekian masa. Kisah yang jauh lebih pedih ketimbang semua kisah sedih yang pernah tertulis. Jauh lebih jahat ketimbang kisah pembunuhan berantai manapun. Jauh lebih mengenaskan ketimbang kisah penuh derita di seantero jagad. Dan jauh lebih mengerikan ketimbang semua kisah hantu dan demit mana pun.


Bagi Shifra kata itu pernah hidup.


Di satu kisah disebutkan. Kata itu mengetuk datang. Saat itu Shifra masih berjantung ganda. Jantung keduanya berdegup berlainan irama. Yang satu bernyanyi merdu menyambut dan yang lain berdegum-degum menyakitkan mengalirkan ketakutan yang amat sangat. Lalu Shifra diseret ke muka rumah dan dipancung. Dihujani jarum-jarum dan dilecut dengan tali-tali bermata pancing sembilan. Kata itu tersenyum begitu puas melihat darah gadis itu berleleran dan merembes ke dalam tanah yang kini basah dan tampak gelap. Shifra meronta. Tapi tak ada yang peduli. Gulungan-gulungan dibakar. Ingatannya ditarik paksa dari lemari penyimpanannya seperti menarik lepas seluruh ruas tulang belakang seekor binatang hanya dengan menarik rahangnya. Dan sejak saat itu Shifra bungkam dan bisu.


Entah bagi Adriel. Tak ada yang bisa tepat menerjemahkan apa sebenernya yang ia rasa. Namun yang pasti ia tak pernah membuka mulutnya untuk membiarkan kata itu lahir di dunia kata-kata. Baginya kehilangan satu kata itu tak pernah jadi soal. Unuk apa menyimpan kata yang tak pernah terpakai? Lagipula kata itu tak lebih dari sesosok hantu yang menghuni satu lembah berpenghuni tengkorak-tengkorak dan mayat-mayat hidup. Satu-satunya hantu yang berdiam di antara tumpukan tengkorak dan mayat-mayat yang berkeliaran tak kenal waktu. Mayat-mayat itu berjalan di siang hari dan memakan manusia setengah nyawa yang ia lihat. Mereka berjalan limbung ke sana kemari. Tanpa bola mata mereka berjalan menurut naluri mereka yang sama matinya dengan tubuh mereka. Ada kabar yang berhembus kalau mayat dan tengkorak-tengkorak itu berniat menginvasi ulang manusia-manusia yang setengah tak bernyawa untuk dijadikan mayat hidup seutuhnya. Bahkan mungkin mereka akan menggelayuti manusia bernyawa penuh untuk bisa dimakan nantinya.


Satu pihak pernah mengucap mereka tak lebih dari mayat-mayat itu. Tidak. Tidak. Hanya orang buta tanpa busana yang bisa berkata begitu.


Shifra dan Adriel. Sepasang anak Hawa itu tidak berjalan limbung ke sana kemari. Mereka jelas tegak berdiri berpijak di atas tanah sejuk dan matanya jelas terbuka menatap ke depan. Lantang dan nyalang. Tak sedikit pun terselip untuk memakan manusia lain. Mesipun mereka karnivor.


Adakah makhuk lain yang satu pola benak dengan mereka? Entah. Mereka sudah cukup aneh. Dan mereka puas akan hal itu. Sampai saat ini mereka masih berdua. Duduk di tepi lembah kabut sambul bergandengan tangan dan saling brcerita kisah-kisah yang aneh. Di masa yang bergerak semakin aneh. Semoga manusia-manusia bisa bertahan. Atau hanya yang aneh saja yang bisa bertahan? Entah.

4 comments:

Adriel

Baby....
kita berbagi otak ya? hehehe...
aku....speechless bacanyaa...keren....X)

maull

serem dalam arti kata keren adek ipaaaar, ckckckckcck

Anonymous

ahh..kalian bs ajaaa.. aku bluwm pintar menulis kok..itw curbek aj..curahan benak..hehe.. Ada yg mkir gt jg kah? Thx 4 comment.. X3

TLR

merinding bacanya..

  © Blogger template 'Minimalist E' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP